Pendahuluan
Masalah warisan dalam Islam sering menimbulkan perdebatan, terutama ketika menyangkut anak angkat. Dalam masyarakat Indonesia, praktik pengangkatan anak telah lama dikenal sebagai tradisi sosial untuk menjaga keberlangsungan keluarga, kasih sayang, atau alasan ekonomi. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah anak angkat memiliki hak waris dalam perspektif hukum Islam?
Pertanyaan ini krusial karena hukum waris Islam sangat ketat diatur dalam Al-Qur’an, hadis, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Artikel ini akan menguraikan kedudukan anak angkat, perbedaan antara hubungan nasab dan hubungan pengasuhan, serta solusi syar’i yang ditawarkan.
Konsep Anak Angkat dalam Islam
Dalam Islam, nasab atau garis keturunan menjadi dasar utama penentuan hak waris. Al-Qur’an menegaskan pentingnya menjaga kejelasan nasab:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah…” (QS. Al-Ahzab [33]: 5)¹.
Ayat ini menunjukkan bahwa anak angkat tidak otomatis menjadi anak kandung dalam hukum Islam. Pengangkatan anak diakui sebagai bentuk kasih sayang, tetapi tidak menghapus hubungan darah asli. Oleh sebab itu, secara fikih, anak angkat tidak memiliki hak waris otomatis dari orang tua angkatnya.
Hak Waris dalam Perspektif Fikih
Dalam hukum waris Islam, ahli waris ditentukan berdasarkan hubungan:
- Nasab (keturunan) → anak kandung, orang tua, saudara, dll.
- Perkawinan → suami atau istri.
- **Wala’ (hubungan perbudakan yang telah dihapuskan dalam konteks modern)**².
Anak angkat tidak masuk ke dalam tiga kategori tersebut. Maka, ia tidak berhak atas warisan orang tua angkatnya. Sebaliknya, anak angkat tetap mewarisi harta dari orang tua kandungnya.
Solusi Syariat: Wasiat dan Hibah
Meskipun anak angkat tidak otomatis mendapat warisan, Islam memberikan jalan keluar yang adil dan manusiawi:
- Wasiat
Orang tua angkat dapat mewasiatkan hartanya kepada anak angkat, maksimal 1/3 dari harta³. Wasiat ini menjadi jalan untuk menjaga keberlangsungan hidup anak angkat setelah wafatnya orang tua angkat. - Hibah
Hibah dapat diberikan kapan saja selama orang tua angkat masih hidup. Tidak ada batasan sepertiga, selama tidak menimbulkan ketidakadilan terhadap ahli waris sah⁴. - Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia
Pasal 209 KHI menegaskan bahwa anak angkat tidak otomatis menjadi ahli waris, tetapi dapat memperoleh wasiat wajibah sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya⁵. Hal ini menjadi bentuk kompromi antara hukum Islam klasik dan kebutuhan sosial di Indonesia.
Analisis Kontekstual
Secara historis, praktik adopsi (tabanni) pernah dilakukan di masa jahiliyah, bahkan Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat. Namun, syariat kemudian menegaskan bahwa status anak angkat tidak sama dengan anak kandung agar tidak terjadi kekacauan nasab⁶.
Dalam konteks modern, keberadaan anak angkat bukan hanya masalah kasih sayang, tetapi juga menyangkut hak-hak sosial dan ekonomi. Karena itu, pemberian wasiat atau hibah merupakan cara menjaga keadilan tanpa melanggar ketentuan syariat.
Kesimpulan
Hak waris anak angkat dalam Islam jelas berbeda dengan anak kandung. Anak angkat tidak otomatis mendapat warisan dari orang tua angkatnya, tetapi tetap memiliki hak dari orang tua biologisnya. Islam memberikan ruang lewat mekanisme wasiat dan hibah, sehingga kebutuhan anak angkat tetap terjamin tanpa mengacaukan sistem nasab yang dijaga ketat oleh syariat.
Dengan demikian, hukum Islam menegaskan keseimbangan antara ketegasan aturan waris dan kemanusiaan dalam perlindungan anak angkat. Dalam konteks Indonesia, pengaturan melalui KHI memperkuat keadilan itu dengan konsep wasiat wajibah.
Sumber :
-
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf, 2019), QS. Al-Ahzab [33]: 5.
-
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid VIII (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), hlm. 21.
-
Hadis riwayat Abu Dawud, no. 2864, tentang batasan wasiat maksimal sepertiga harta.
-
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III (Kairo: Dar al-Fath, 2012), hlm. 135.
-
Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Pasal 209.
-
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid VI (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), hlm. 489.